Freeport sudah sekitar setengah abad beroperasi di Indonesia. Seharusnya Freeport paham, menghormati dan mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun kenyataannya, hingga hari ini Freeport bersikukuh dengan penafsirannya sendiri tentang undang-undang di Indonesia. Belum bisa dikatakan Freeport telah mematuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia Generasi II akan berakhir tahun 2021. Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) menyebutkan bahwa perpanjangan Kontrak Karya (KK) baru bisa dilakukan dua tahun sebelum masa kontrak berakhir. Artinya, kepastian adanya KK baru bagi PT. FI baru bisa diketahui tahun 2019. Guna menuju ada atau tidaknya kesepakatan baru bagi PT.FI tahun 2019 nanti maka dilakukanlah proses negoisasi. Prosesnya telah berlangsung lama, dimulai sejak pemerintahan sebelumnya, sejak tahun 2008-2009 yang lalu.
Pada tanggal 2 Juli 2015 Presiden Direktur PT. Freeport Indonesia yang saat itu dijabat oleh Maroef Syamsoedin serta bos Freeport Global James R. Moffet datang menemui Presiden. Dalam pertemuan saat itu Presiden Jokowi ditemani oleh Menteri ESDM Sudirman Said. Dalam pertemuan tersebut PT. Freeport Indonesia menyatakan komitmennya untuk terus berinvestasi di Indonesia. James R. Moffet juga menegaskan akan menghargai kedaulatan hukum Indonesia dengan menghormati seluruh regulasi dan kesepakatan yang telah ada sebelumnya. Sempat diumumkan oleh Kementerian ESDM bahwa, untuk pengembangan tambang bawah tanah (underground mining) dan pembangunan smelter, Freeport telah menyiapkan investasi sebesar 18 miliar dolar AS, dan 2,5 miliar dolar AS diantaranya untuk smelter, sisanya untuk pembangunan underground mining.
Ada 15 aspek yang telah disepati dari 17 aspek yang harus disepakati bersama antara Freeport dan pemerintah Indonesia. Dua aspek yang belum disepakati saat itu yakni, nilai kontribusi kepada Penerimaan Negara dan Status Hukum kelanjutan operasi sesudah tahun 2021. Lima belas aspek yang telah disepakati, sebelas aspek diantaranya merupakan aspirasi Pemerintah Daerah dan Masyarakat Papua serta empat poin yang merupkan domain Pemerintah Pusat.
Sebelas aspek aspirasi daerah Papua yang disepakati adalah: 1. Memindahkan pusat operasi PTFI ke Papua; 2.Memperbaiki Hubungan PTFI dengan Pemda Papua dan Kabupaten sekitar; 3. Meningkatkan peran serta Pemda (BUMD) dan pengusaha-pengusaha Papua dalam kegiatan sub-kontrak; 4. Mewajibkan PTFI untuk menggunakan jasa perbankan nasional (Bank Papua); 5. Memperbaiki pengaturan pertambangan rakyat; 6. Peningkatan dan pengalihan pengelolaan Bandara Moses Kilangin, Timika; 7. Meningkatkan kontribusi pembangunan infrastruktur wilayah sekitar; 8. Penataan Program CSR; 9. Memperbaiki pengelolaan dampak lingkungan hidup; 10. Menyusun rencana paska tambang; 11. Meningkatkan peran tenaga kerja asal Papua
Salah satu aspek dari empat aspek yang menjadi domain Pemerintah Pusat yang telah disepakati adalah pengurangan luas wilayah kerja. PT. FI sepakat mengembalikan 58 persen wilayah kerjanya kepada pemerintah. Dengan pengembalian lahan tersebut, wilayah kerja PT. FI berkurang sehingga menjadi 90,360 hektar dari semula 212.950 hektar. Freeport juga diharuskan meningkatkan penerimaan negara, menambah kapasitas dan ekspansi smelter dalam negri, meningkatkan kepemilikan pihak nasional atas saham PT. FI dan mengutamakan penggunaan tenaga kerja lokal, penggunaan barang dan jasa dalam negri. James R. Muffet menyanggupi permintaan tersebut dan menyatakan akan membeli sejumlah alat-alat berat dan bahan peledak dari PT. Pindad.
Hingga kini, Freeport belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya sesuai kesepakatan. Freeport belum menyelesaikan kewajibannya membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) untuk hasil tambangnya. Padahal, kewajiban itu telah diatur dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Tahun 2009. Freeport seharusnya telah menjalankan kewajiban tersebut pada 2014. Lantaran belum juga memenuhi kewajibannya, pemerintah memberikan kelonggaran hingga Januari 2017. Meski begitu, hingga kini Freeport belum juga merealisasikannya.
Salah satu alasan Freeport kenapa tidak segera menyelesaikan pembangunan smelter adalah karena mereka menginginkan kepastian adanya kontrak karya baru, lebih awal, sebelum tahun 2019. Sementara kesepakan perpanjangan kontrak karya (KK) belum tercapai, Freeport terus berproduksi, peraturan baru memberikan kesempatan kepada perusahaan tambang untuk mengubah status KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) agar bisa mengekspor konsentrat meskipun belum membangun smelter. Seiring perubahan kontrak menjadi izin usaha, ada kewajiban divestasi 51 persen saham untuk dalam negeri harus segera dipenuhi.
Namun, Freeport tidak ingin mengubah status kontraknya menjadi IUPK. Sesuai aturan, pemerintah tidak bisa memberikan izin kepada Freeport untuk mengekspor hasil tambangnya. Jika Freeport tidak ingin mengubah status kontraknya menjadi IUPK, maka pemerintah akan tetap menghormati KK yang masih berlaku hingga 2021.
Kenapa Freeport berani membandel, tidak mematuhi sepenuhnya peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia? Salah satunya, Freeport coba mencari celah untuk melakukan negoisasi tertutup atau lobi-lobi guna memuluskan keinginannya. Freeport tidak memahami sikap pemerintah Jokowi-JK yang telah menghentikan kebiasaan lama melakukan negoisasi tertutup dalam sektor pertambangan. Pemerintahan Presiden Jokowi ingin mengelola pertambangan dengan semangat transparansi. Menteri Keuangan Sri Mulyani secara tegas mengatakan, Freeport sebagai investor harus mengikuti peraturan yan g berlaku di Indonesia. “Jadi tidak ada lagi yang namanya negosiasi tertutup, semua transparan,” ujar Sri Mulyani. Rabu (22/2).
Freeport mengajukan beberapa syarat kepada pemerintah untuk mengubah kontrak karya menjadi IUPK. Salah satunya, Freeport menginginkan sistem pajak menggunakan pajak tetap (nail down) meski status kontraknya telah berubah dari KK menjadi IUPK. Artinya, pemerintah hanya memungut pajak yang telah disepakati dalam kontrak sebelumnya dan tidak mengikuti aturan baru (IUPK).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menolak permintaan tersebut. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan Freeport harus tetap tunduk pada peraturan. “Saya men-challenge (Freeport) dengan aturan yang ada di Amerika sana, tidak ada nail down, adanya prevailing. Kalau mau debat boleh, pajak itu berubah tiap tahunnya di sana,” kata Arcandra.
Hampir tidak ada celah bagi Freeport untuk melakukan kebiasaan lamanya, melakukan lobi-lobi gelap yang dapat memperkaya beberapa pejabat terkait termasuk para politikus calo yang kerap menjadi perantaranya, namun secara keseluruhan malah merugikan Indonesia. Zaman telah berubah, pemerintah Indonesia tidak ingin dikangkangi lagi begitu saja oleh perusahaan asing yang mengeruk emas dan tembaga dari bumi Papua, mengalirkan pundi-pundi kekayan mereka ke negara asalnya dan membiarkan Papua tetap terbelakang. Freeport kini tengah terpojok oleh akal bulusnya sendiri. Pilihannya tinggal dua, mengikuti peraturan di Indonesia atau terdepak dari Papua.
Freeport coba menggertak pemerintah dengan isu PHK, coba menghembus kegelisahan di Papua akibat mandegnya perundingan tersebut. Namun pemerintah tak kalah gertak, malah menantang Freeport untuk maju ke pangadilan arbitrase. Meski sepertinya menguntungkan bagi Freeport, namun apa bila pemerintah Indonesia kalah di pengadilan arbitrase, Freeport justru malah tidak mendapatkan perpanjangan kontrak baru, hanya punya waktu untuk menghabiskan sisa masa kontraknya hingga tahun 2021 dan Freeport tetap tidak bisa mengekspor hasilnya. Kalau sampai berlanjut ke pangadilan arbitase, apapun hasilnya, Freeport terancam ditendang Jokowi dari Papua. Hanya satu pilihan bagi Freeport bila ingin tetap beroperasi di Papua, harus mematuhi peraturan di Indonesia!
sumber:seword.com
loading...
0 Response to "Freeport Bandel dan Gagal Paham, Terancam Ditendang Jokowi dari Papua"
Post a Comment